Senin, 12 Mei 2014

Segalanya Terpendam


Jatuh cinta terjadi karena sebuah proses yang cukup panjang, dan itu yang harus ku lewati secara alamiah. Namun, yang ku alami hanyalah proses kecil yang tak ku kira. Hingga segala rasa, akulah yang pendam.

Awalnya mengira memendam adalah hal yang begitu mudah, ternyata semua salah. Semuanya tak semudah itu. Mengapa ku lakukan itu? Karna, kamu pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap pagi ketika ku buka mata, hal yang ku lakukan adalah mencari ponsel genggam ku dan membaca pesan singkat sapaan mu ketika matahari terbit.

Setiap malam, sebelum tidur , kuhabiskan beberapa menit untuk membaca pesan singkatmu dan pula ucapan selamat malam dengan emot kecupan dan peluk, maupun kata sayang yang kau berikan untuk ku. Tak ku sangka, semuanya telah berakhir. Tanpa ucapan pisah. Tanpa lambaian tangan. Tanpa pernah kau jujur mengenai perasaanmu. Perjuanganku terhenti karena aku merasa tak pantas lagi berada di sisimu. Kau sudah memilih dia, yang bukan lagi nampaknya jauh lebih baik dan sempurna daripada aku. Tentu saja, jika dia tak sempurna—kau tak akan memilih dia menjadi satu-satunya bagimu.

Melihatmu, bukan lagi yang ku kenali. Semua pandangan itu telah hilang dalam hitungan detik. Aku yang selalu berusaha tertawa saat bersamamu, menahan segala air mata yang ingin terjatuh, sampai ku tak dapat membedakan antara angan dan kenyataan.

Sadarkah kamu, bahwa hingga saat ini ku gantungkan sepercik harapan itu padamu? Sayangnya, semua hal itu seakan tak kau gubris. Kamu di sampingku, tapi getaran yang kuciptakan seakan tak benar-benar kau rasakan. Kamu berada di dekatku, namun segala perhatianku seperti terhempas tapi berlalu begitu saja.

Tuan, tak mungkin kau tak menyadari segala rasa itu. Kekasihku yang belum sempat kumiliki, tak mungkin kau tak memahami perjuangan yang kulakukan untukmu. Kamu ingin tahu rasanya seperti aku? Dari awal, ketika kita pertama kali berkenalan, aku hanya ingin melihatmu bahagia. Senyummu adalah salah satu keteduhan yang paling ingin kulihat setiap hari. Pelukmu lah yang mampu menenangkan ku dalam segala hal, terutama saat aku menangis. Dulu, aku berharap bisa menjadi salah satu sebab kau tersenyum setiap hari, tapi ternyata harapku terlalu tinggi.

Aku tak pernah menyesal pernah kenal kamu, sempat dekat dengan kamu, pernah melakukan hal bodoh dan gila bersama kamu. Walau kejadiannya sekarang telah berbeda. Karna aku mengerti, kau tak lagi mampu menyakitinya. Lalu aku bisa apa? Melarang mu? Memarahimu? Atas dasar apa? Tak bisa dan tak pantas kulakukan. Hanya akan terlihat lebih bodoh lagi.

Aku hanya bisa tersenyum melihat itu, memang seharusnya seperti itu. Aku belajar buat tetap ikhlas, apapun itu keputusannya. Sekecil apapun harapan itu, tetap saja kau hanyalah mimpi bagiku. Aku tak kan memaksa mu untuk tetap mengerti semua yang telah ku rasa, tak.

Terimakasih pernah menghiasi hari-hari ku dengan warna indah di dirimu. Aku takkan bisa lupakan itu, sepahit apapun yang ku terima dari sikap dingin mu saat ini. Semua kenangan itu akan tetap melekat. Biarlah rasa ini aku yang simpan, sampai pada akhirnya waktu yang melelahkan dan menyadarkan aku untuk terus berlayar dan berlabuh yang seharus ku labuhkan.

Sesungguhnya ku tak kuasa melihat mu seperti ini. Aku ingin sekali menegor mu dikala itu. Entah mengapa aku tak punya nyali, hanya ada rasa takut. Aku hanya bisa menangis di dalam acuhan mu. Memikirkan dalam dinginnya sikap mu bersama dengan hembusan angin malam.

Aku menyayangimu, entah sampai kapan rasa ini akan ada. Menatap mu dalam diam adalah salah satu dari hobby ku. Aku memang yang terlalu bodoh mengartikan semua perhatianmu adalah sebuah rasa.

Aku menulis ini ketika mataku tak kuat lagi untuk menangis, ketika mulutku tak mampu lagi berkeluh. Aku mengingatmu sebagai sosok yang pernah hadir, meskipun tak pernah benar-benar tinggal. Seandainya kau benar-benar memahami perasaanku dan bisa membaca setiap keajaiban dalam perjuanganku, mungkin kamu akan berbalik arah—memilihku sebagai tujuan. Tapi, aku hanyalah persinggahanmu ketika kau sedang bosan dengannya, tempatmu meletakan segala kecemasan, lalu pergi tanpa janji untuk pulang.

Semoga kau tahu, setiap hari ku berjuang untuk melupakanmu, memaksakan diri agar dapat membencimu, dan aku terus berusaha keras untuk tetap bisa menerima kenyataan yang begitu kelam, ketika kulihat kau bersamanya.

Bisakah kau bayangkan rasanya jadi orang yang setiap hari terluka, hanya karena ia tak tahu bagaimana perasaan orang yang dicintainya? Bisakah kau bayangkan rasanya jadi seseorang yang setiap hari menahan tangisnya agar tetap terlihat baik-baik saja? Bisakah kau bayangkan menjadi seseorang yang terus memaksakan dirinya untuk tertawa dihadapan orang yang dicintainya, padahal dia tahu hatinya menangis?

Kamu tak bisa. Tentu saja. Kamu tidak perasa. Tak lagi yang ku kenal.

Semua telah berlalu dan benar-benar berlalu. Semua cerita harus punya akhir, dan inilah akhir dari cerita itu. Tapi bukan ini akhir yang kupilih. Seandainya aku bisa memilih cerita akhir, aku hanya ingin mendekapmu, sehingga kau tahu, bahwa di sini aku selalu bergetar ketika mendoakanmu.



Rabu, 16 April 2014

MelepasMu


Sebuah lirik lagu yang menyadarkan ku, bahwa itu memang benar. Dibait pertama itu yang membuat ku tersentuh.

“Tak mungkin menyalahkan waktu, tak mungkin menyalahkan keadaan. Kau datang disaat ku membutuhkanmu, dari masalah hidupku bersamanya.”

Aku tak mengerti, mengapa aku begitu menyayangimu? Merasa kehilangan sekali, saat sosok hadirmu tak lagi ada beberapa hari ini. Aku sudah terbiasa dengan balasan chat setiap menit, kata rindu, sayang maupun ucapan “selamat pagi dan malam” ketika hendak tidur dan aku merindukan sosok suara dari balik telephone genggam kita. Aku rindu cerita panjang hingga larut malam itu, berjam-jam sampai sering tertidur tanpa sadar bahwa kita dalam sambungan telpon. It’s all over, now. Yah, memang harus berakhir.

Tapi tahukah kamu, semakin aku menyayangimu semakin aku harus melepaskanmu. Karena, memang kita harus begini. Aku takkan menyalahkannya, yang tak mampu pula membiarkanmu pergi begitu sajah bersama yang lain (aku). Karna aku mengerti yang telah terjadi diantara kalian, aku tak ingin lebih jahat lagi. Dan jujur, akupun tak bisa melepaskannya pula, karna aku juga begitu menyayanginya. Akupun lelah, harus berpura-pura lagi dibelakangnya. Aku tau itu sakit, sakit sekali.

Maafkan aku yang membiarkan mu masuk kedalam hidupku ini. Maafkan aku yang harus melepasmu walau ku tak ingin. Tak ingin lukai hatimu lebih dari ini. Kita tak mungkin terus bersama. I’ll let to go until you and I can be together in our future. Seperti yang pernah kau katakan Kalau Allah sudah menggariskan takdir kita berjodoh, pasti kita akan berjodoh dan sebaliknya. Entah kapan itu akan terjadi.

Rasa Yang Tertinggal


Mengingatmu, mengingatkan ku pada hubungan itu. Hubungan yang bisa dibilang terlarang. Kau miliknya dan akupun miliknya pada masanya. Kita sama-sama berjuang saat itu, walau kita tau itu hal yang sangat menyakitkan. Tapi seketika semua perjuangan itu terasa sia-sia, semua telah berubah semenjak semuanya ketahuan. Dan berpaling juga dirimu dariku, semua janji itu terasa seperti angin yang berhembus tanpa pernah diingkan dan hilang tak tau arah, kini hanya ada hempasan yang ku rasa dalam diam.

Memang tak lama kemudian hubungan aku dengannya benar-benar telah usai, itu bukan karna ketahuan. Karna, memang diriku telah lelah dengan sikap dan sifatnya yang telah diberikan. Aku tak ingin berbohong, rasa itupun masih ada mungkin sampai detik ini. Sedangkan kau tetap mempertahankan hubungan mu dengan dia walaupun tidak lama kemudian kalian telah usai. Walau ku tau rasamu tetap sama tak berubah dengannya.

Lalu. Aku bisa apa? Memarahimu? Melarangmu? Memakimu? Atas dasar apa? Rasa ini? Rasa yang belum sempat hilang dariku? Aku tak bisa, benar-benar tak bisa lakukan hal seperti itu pada dirimu dan itu bukan jadi alasan yang tepat bagiku. Ketahuilah, aku hanya bisa menahan segala rasa, rasa sayang itu. Karna apa yang kamu rasakan tak dapat ku pahami dan sebaliknya pun begitu.

Maafkan aku, aku masih seperti orang bodoh hingga ku mampu kau bodohi. Rasa itu masih tertinggal, disini, dihatiku. Maafkan aku yang menyayangimu dalam diam, maafkan aku yang selalu menangiskan mu dalam gelapnya malam hingga terlelap dalam tidurku.

Memang tak ada yang salah dengan rasa ini, tapi aku memang bodoh sangat-sangat bodoh. Tak dapat membedakan setiap perhatian kecil dan kecupan yang selalu kau berikan padaku. Entah sebagai orang yang masih ada dihatimu atau memang sebagai teman biasa sajah tanpa ada hal yang special lagi bagimu. Walau ku sadar, memang dari awal diriku yang memintamu untuk tetap mengenalku dari awal, sebagai teman yang tak lebih. Tapi aku malah terlihat menjadi seorang yang bodoh, aku terlalu munafik untuk hal seperti itu.

Mungkin kau tahu yang sesungguhnya tentang rasa ini, tapi kau mencoba untuk tak memperdulikannya.  Mungkin memang aku yang harus mengerti, bila ku bukan yang kau inginkan tuk dimiliki. Salahkah bila kaulah yang ada dihati? Bila memang ku yang harus mengerti, mengapa cinta mu tak dapat ku miliki? Bila cinta kita takkan tercipta, ku hanya sekedar ingin tuk mengerti.

“Wake up princess, he never loved you!!” Jujur, kata itu yang membuat ku “lelah”. Tapi saat aku ingin pergi, dia seakan membuat ku ingin bertahan. Seketika hati meminta untuk berjuang lagi dan logika berkata “masa cuman segini?”. Jadi, aku kembali. Dengan rasa yang terpendam dan menyakitkan.

Sometimes..
I just wish to become robot for a few minutes. Without the eyes that see reality. Without the ears that hear lies and without the emotion that feels a broken heart..

Jika Kepergian Itu adalah Keharusan


Jika kepergiaanmu adalah membawa luka, tolong jangan kau tinggalkan luka itu dengan bayangan semu mu. Aku yang menyayangimu, bahwa ku tahu seharusnya masih ada orang lain yang lebih pantas untuk aku sayangi. Hadirmu yang membuat hari-hari ku terhias oleh warna senyum, canda tawamu.

Aku memang tak pantas menuntut mu lebih, walau sesungguhnya ada dan ingin sekali ku katakan. Aku sadar, aku bukan siapa-siapamu dan kaupun begitu sebaliknya. Sadarkah kau, ketika ku menatap kedua bola matamu ada tangis yang terpendam dihati ini.

Semua terasa indah untuk aku lupakan dan terasa pahit ketika aku harus mengenangnya. Aku tak mengerti apa yang kau rasakan, akupun tak bisa memahaminya. Salahku adalah, merespon semua hal indah canda itu.
Aku yang telah lelah dengan semua kebohongan yang selama ini kau berikan tanpa pernah kau fikirkan, semua itu akan sakit pada akhirnya. Aku yang terlalu bodoh, mengartikan setiap kata kebohongan yang kau lontarkan dari mulut mu seakan semua itu nyata.

Hanya malam yang dapat menemani ku dengan sejuta tetesan air mata yang terjatuh. Angan-angan yang seakan rindu akan hadirmu yang dulu, hingga terbenak semua hal indah yang pernah kita lalui berdua.
Masikah aku ada dibenakmu? Masikah aku terlihat special dihatimu? Dan masikah rasa itu sama seperti dulu yang kau rasakan? Semua telah hilang, berasama mimpi kita.

Aku sadar, memang semuanya telah berlalu tapi aku tak pernah tahu berlalu jugakah rasa ini dengan seiring berjalannya waktu? Kamu yang cuek dengan ku saat ini, menyadarkan ku bahwa kamu takkan pernah memilihku dalam diam, takkan pernah ada aku dalam setiap do’a mu dan takkan pernah aku ada difikiran mu lagi.

Sesungguhnya, aku tak pernah meminta semua ini akan berakhir dan tak pernah memintamu untuk kembali bersama luka itu. Tapi ketahuilah, aku menyayangimu dalam diam, merindukanmu dalam tangisku dan biarkanlah rasa ini aku yang simpan, sendiri tanpa pernah engkau mau memahaminya.

Biarkanlah aku yang pergi bersama cinta dengan luka yang tak seharusnya kau ketahui. Biarkan semuanya hilang perlahan bersama angan-angan yang semu.

Terhitung dari hari ini, aku berhenti berharap, menunggu dan mengusikmu. Terhitung dari hari ini, aku memulai mencintaimu dalam diam, merindukanmu dalam sepi dan bertahan dengan rasa ini, tanpa kau mengetahuinya.

BEGITU MUDAHKAH?


Entah harus dari mana aku ceritakannya, semua itu membuat aku bingung. Kau datang kembali disaat semuanya telah baik-baik saja, aku tak mampu mengartikan semua ini. Mungkinkah aku terlalu bodoh? Atau mungkin aku terlalu baik untuk menerima kebodohan ini? Karena, ku tak mampu tuk mengerti maksud mu.

Begitu mudahnya kau katakan, begitu mudahnya pula kau ingkari demi kesenangan mu sesaat dan begitu mudahnya untuk diriku mampu mempercayai semua omong kosongmu itu. Tak pernahkah kau sedikitpun memikirkan perasaan ku ataupun perasaan dia jikalau dia tau semua pesan singkat darimu suatu malam itu? Aku tak ingin bermuna, kalau aku ingin kembali denganmu menjalani semuanya yang telah lama sirna dari pandangan kita seperti dulu.  Tapi, aku takut jikalau kau mampu menyakiti ku untuk kedua kalinya.

Taukah kamu? Setiap kali aku bercerita kepada mereka (pendengar setiaku), sahabatku selalu sajah mengingatkan aku tentang luka itu. Saat kau meninggalkan ku tanpa alasan, tanpa kata dan tanpa bicara.

Entah perasaan apa yang saati ini menderaku? Aku tak dapat memahaminya. Akupun tak dapat memberikan sebuah alasan. Semua itu terjadi tanpa pernah ku memintanya. Jujur ku akui, aku tak menyayangi mu sama sekali. Tapi entah kenapa setiap kali aku mengingat semua kenangan itu, mampu menghipnotis ku untuk dapat merindumu dan tanpa tersadari air mata ini terjatuh perlahan.

Mengapa kau datang disaat semuanya telah sirna? Bisakah kau menghilang dari semua pikiran ku sampai aku bosan? Aku taku mau membayangkanmu walau itu hanya sesaat. Sudah untuk aku mengenalmu menjadi seorang yang dulu pernah bersamaku menjalani kisah kasih berdua. Aku hanya ingin mengenalmu sebagai seseorang teman dan tak lebih.

Aku akan berjuang untuk bisa bangkit dan berhenti mengaharapkan yang tak mampu diharapkan lagi. Karna semua itu adalah sebuah titik semu yang tak berujung. Aku mau masa depan, tapi bukan kamu.