Jatuh cinta terjadi karena sebuah proses yang cukup panjang, dan itu yang harus ku lewati secara alamiah. Namun, yang ku alami hanyalah proses kecil yang tak ku kira. Hingga segala rasa, akulah yang pendam.
Awalnya mengira
memendam adalah hal yang begitu mudah, ternyata semua salah. Semuanya tak
semudah itu. Mengapa ku lakukan itu? Karna, kamu pernah menjadi bagian
hari-hariku. Setiap pagi ketika ku buka mata, hal yang ku lakukan adalah
mencari ponsel genggam ku dan membaca pesan singkat sapaan mu ketika matahari
terbit.
Setiap malam,
sebelum tidur , kuhabiskan beberapa menit untuk membaca pesan singkatmu dan
pula ucapan selamat malam dengan emot kecupan dan peluk, maupun kata sayang
yang kau berikan untuk ku. Tak ku sangka, semuanya telah berakhir. Tanpa ucapan pisah. Tanpa lambaian tangan. Tanpa pernah kau jujur
mengenai perasaanmu. Perjuanganku terhenti karena aku merasa tak pantas lagi
berada di sisimu. Kau sudah memilih dia, yang bukan lagi nampaknya jauh lebih
baik dan sempurna daripada aku. Tentu saja, jika dia tak sempurna—kau tak akan
memilih dia menjadi satu-satunya bagimu.
Melihatmu,
bukan lagi yang ku kenali. Semua pandangan itu telah hilang dalam hitungan
detik. Aku yang selalu berusaha tertawa saat bersamamu, menahan segala air mata
yang ingin terjatuh, sampai ku tak dapat membedakan antara angan dan kenyataan.
Sadarkah
kamu, bahwa hingga saat ini ku gantungkan sepercik harapan itu padamu? Sayangnya, semua hal itu seakan tak kau gubris. Kamu di
sampingku, tapi getaran yang kuciptakan seakan tak benar-benar kau rasakan.
Kamu berada di dekatku, namun segala perhatianku seperti terhempas tapi berlalu
begitu saja.
Tuan, tak mungkin kau tak menyadari segala rasa
itu. Kekasihku yang belum sempat kumiliki, tak mungkin kau tak memahami
perjuangan yang kulakukan untukmu. Kamu ingin tahu rasanya seperti aku? Dari
awal, ketika kita pertama kali berkenalan, aku hanya ingin melihatmu bahagia.
Senyummu adalah salah satu keteduhan yang paling ingin kulihat setiap hari. Pelukmu lah yang mampu
menenangkan ku dalam segala hal, terutama saat aku menangis. Dulu, aku berharap bisa menjadi salah satu sebab kau tersenyum
setiap hari, tapi ternyata harapku terlalu tinggi.
Aku tak pernah menyesal
pernah kenal kamu, sempat dekat dengan kamu, pernah melakukan hal bodoh dan
gila bersama kamu. Walau kejadiannya sekarang telah berbeda. Karna aku mengerti, kau
tak lagi mampu menyakitinya. Lalu aku bisa apa? Melarang mu? Memarahimu? Atas dasar
apa? Tak bisa dan tak pantas kulakukan. Hanya akan terlihat lebih bodoh lagi.
Aku hanya bisa tersenyum melihat
itu, memang seharusnya seperti itu. Aku belajar buat tetap ikhlas, apapun itu
keputusannya. Sekecil apapun harapan itu, tetap saja kau hanyalah mimpi bagiku.
Aku tak kan memaksa mu untuk tetap mengerti semua yang telah ku rasa, tak.
Terimakasih pernah
menghiasi hari-hari ku dengan warna indah di dirimu. Aku takkan bisa lupakan
itu, sepahit apapun yang ku terima dari sikap dingin mu saat ini. Semua
kenangan itu akan tetap melekat. Biarlah rasa ini aku yang simpan, sampai pada
akhirnya waktu yang melelahkan dan menyadarkan aku untuk terus berlayar dan
berlabuh yang seharus ku labuhkan.
Sesungguhnya ku tak kuasa
melihat mu seperti ini. Aku ingin sekali menegor mu dikala itu. Entah mengapa aku
tak punya nyali, hanya ada rasa takut. Aku hanya bisa menangis di dalam acuhan
mu. Memikirkan dalam dinginnya sikap mu bersama dengan hembusan angin malam.
Aku menyayangimu,
entah sampai kapan rasa ini akan ada. Menatap mu dalam diam adalah salah satu
dari hobby ku. Aku memang yang terlalu bodoh mengartikan semua perhatianmu
adalah sebuah rasa.
Aku menulis ini ketika mataku tak kuat lagi untuk
menangis, ketika mulutku tak mampu lagi berkeluh. Aku mengingatmu sebagai sosok
yang pernah hadir, meskipun tak pernah benar-benar tinggal. Seandainya kau
benar-benar memahami perasaanku dan bisa membaca setiap keajaiban dalam
perjuanganku, mungkin kamu akan berbalik arah—memilihku sebagai tujuan. Tapi,
aku hanyalah persinggahanmu ketika kau sedang bosan dengannya, tempatmu
meletakan segala kecemasan, lalu pergi tanpa janji untuk pulang.
Semoga kau tahu, setiap hari ku berjuang untuk
melupakanmu, memaksakan diri agar dapat membencimu, dan aku terus berusaha
keras untuk tetap bisa menerima kenyataan yang begitu kelam, ketika kulihat kau
bersamanya.
Bisakah kau bayangkan rasanya jadi orang yang
setiap hari terluka, hanya karena ia tak tahu bagaimana perasaan orang yang dicintainya?
Bisakah kau bayangkan rasanya jadi seseorang yang setiap hari menahan tangisnya
agar tetap terlihat baik-baik saja? Bisakah kau bayangkan menjadi seseorang
yang terus memaksakan dirinya untuk tertawa dihadapan orang yang dicintainya, padahal
dia tahu hatinya menangis?
Kamu tak bisa. Tentu saja. Kamu tidak perasa. Tak lagi
yang ku kenal.
Semua telah berlalu dan benar-benar berlalu. Semua
cerita harus punya akhir, dan inilah akhir dari cerita itu. Tapi bukan ini
akhir yang kupilih. Seandainya aku bisa memilih cerita akhir, aku hanya ingin
mendekapmu, sehingga kau tahu, bahwa di sini aku selalu bergetar ketika
mendoakanmu.